Tgl 8 Maret slalu di peringati sebagai Hari Wanita seDunia,kali ini rasanya sangat pas di angkat sosok wanita ini sebagai tokoh wanita Indonesia Thn 2011 karna KEPUTUSANnya untuk menjadi GURU anak Rimba nun jauh di tengah Hutan belantara di Jambi sana, terlebih lagi dengan usianya yang baru 27 tahun.
Ketika awalnya memilih pekerjaan ini sempat ditegur orang tuanya, tapi yang namanya hidup, merupakan pilihan dan kesenangan. Kalin bisa menyakinkan orang tuanya bahwa alternatif pilihannya sebagai bentuk tantangan tersendiri dalam hidupnya.
Terinspirasi saat kuliah melihat iklan di Teve ada sosok wanita tangguh dengan nama BUTET kala itu bekerja di Warsi juga menjadi guru anak rimba dan hobby panjat gunungnya membawanya bergabung saat Warsi membuka lowongan untuk menjadi Guru anak Rimba.
Tahap awal Karlin harus beradaptasi dengan si tuasi dan suasana di lingkungan hutan berantara itu. Untuk menempuh jalur ke hutan, Karlin harus berjalan kaki menelusuri perbukitan. di kawasan penyanggah TNBD ada Posko Warsi, darisana harus beranjak kembali menuju perkampungan orang Rimba. yang terdekat minimal 1 jam perjalanan dengan kelompok terjauh di tengah kawasan hutan harus di tempuh berjalan kaki 9 jam, dengan tidur di posko Warsi.
Karlin tidak membayangkan kondisi orang Rimba yang sesungguhnya, ketika pertama kali menginjakan kakinya di pemukiman itu, dia terkejut ternyata masih ada rumah beratapkan terpal, kaum hawanya mengenakan kemben dan banyak anak-anak tanpa busana.
Tugas mengajar dan berhitung di jalankannya dengan senang hati, ada sekitar 30 an anak Rimba yang membutuhkan tenaganya dan mereka tidak satu wilayah, mereka terdiri dari kelompok berbeda. dan lokasi yang berbeda. Kebetulan nak-anak Rimba ini sangat cepat menangkap, dan mereka sangat antusias dalam belajar.
Dalam Proses belajarnya, Karlin harus berdiam diri selama dua pekan di dalam hutan dan 2 minggu beristirahat di Jambi. Papan tulis dan kapur serta sejumlah buku, pena dan pensil selalu menyertainya, setiap kunjungan ke komunitas Orang Rimba.
Andai kertas habis, ya kami pakai apa yang bisa di tulis, kadang pakai kertas bekas bungkus rokok juga pernah.
uniknya anak anak Orang Rimba belajar di alam terbuka, duduk bersama di bawah pohon rindang, kadangkala mereka belajar di tepi sungai. Tidak ada juga jam pelajaran sebagaimana umumnya, perlu kesabaran ekstra agar dapat mengumpulkan anak-anak Rimba itu. Saat mereka kumpul, baru kita belajar, jadi bisa belajarnya pagi, siang atau sore. Untuk malam belum bisa karena tidak ada listrik.
Di samping itu untuk anak Orang Rimba yang berada dekat fasilitas pendidikan formal, di upayakan di daftarkan di sekolah dan sebelumnya sudah mengikuti sekolah alternatif dari Warsi seperti membaca, menulis dan berhitung dan sedikit pengetahuan umum.
Hasilnya lumayan, dalam beberapa tahun ini sudah ada yang lulus UN tapi sayangnya tidak bisa melanjutkan ke SMP terkendala dengan jarak yang jauh dengan SMP terdekat.
"Bagaimanapun pendidikan Hak semua orang, dan Negaralah yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut, kami dari warsi mendorong supaya negara lebih tanggap dan lebih berkomitmen untuk pendidikan Orang Rimba," ucap Karlin.
Dengan berintegrasi Orang Rimba dengan kelompok masyarakat Melayu maupun masyarakat Transmigrasi juga semakin dekat dengan sarana pendidikan hanya stigma yang di lekatkan kelompok masyarakat lain pada Orang Rimba seringkali menyebabkan mereka tidak diterima bersekolah di sekolah formal. ini yang terus di upayakan supaya negara dapat mengambil peran untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat sepertinya Orang Rimba.
Sumber DetikNews
Komentar